Orang yang Berhikmat Memikirkan Perasaan Orang Lain

| Rabu, September 06, 2017 |
Yakobus 3:17 "Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik."

Dua kesalahan terbesar yang kita buat dalam hubungan kita dengan orang lain adalah ketika kita bereaksi terhadap apa yang orang lain katakan, bukan pada apa yang mereka rasakan- atau ketika kita tidak menghiraukan perasaan orang lain sebab kita tidak merasakan apa yang mereka rasakan. 

Tahukah Anda apa penangkal untuk kedua hal ini? Sederhana saja, dengan memikirkan perasaan orang lain. 
Kesalahan #1: Kita bereaksi tanpa berusaha mengerti. 
Kita terlalu terpaku pada kata-kata seseorang dan tidak memperhatikan emosi di baliknya. Ketika marah, orang mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak bermaksud mereka katakan. Ketika marah, orang menggunakan kata-kata yang bahkan tidak pernah ingin mereka ucapkan. Amarah memperparah segalanya. Tetapi Anda perlu melihat perasaan di balik kata-kata mereka sebab orang tidak selalu mengatakan apa yang sebenarnya ingin mereka ucapkan, tapi mereka selalu sungguh-sungguh dengan apa yang mereka rasakan.

Jadi jika Anda berhikmat dan bijak dalam suatu hubungan, berhentilah fokus pada ucapan anak-anak, pacar, suami, istri, atau atasan Anda yang membuat Anda kesal, dan mulailah menjadi peka. Itu artinya Anda memperhatikan perasaan orang lain. Orang yang kasar adalah orang yang paling membutuhkan kebaikan Anda. Ketika seseorang berlaku kasar dan tidak baik, mereka sebenarnya sedang menjerit kepada dunia, "Saya terluka!" Luka selalu menyakiti orang lain.

Kesalahan #2: Kita menyangkal perasaan orang lain karena kita tidak merasakannya. 
Ini terjadi ketika Anda percaya bahwa suatu hal adalah bodoh atau irasional atau tidak masuk akal karena itu bukan seperti apa yang Anda rasakan, dan akibatnya Anda menyangkalnya. Biarkan saya bertanya pada Anda: bisakah seseorang menjadi acuh dan menjadi perhatian di saat yang sama? Ya. Lalu mengapa harus repot-repot memperdebatkan apa yang orang lain rasakan?

Bila kita mengabaikan perasaan orang lain karena kita tidak merasakan hal yang sama, maka kita meremehkan orang tersebut. Saudara-saudara, jika pacar Anda atau istri Anda berkata, "Saya merasa jelek," jangan anggap itu angin lalu dan mengatakan,"Kau tidak jelek!" Mengapa respon seperti itu salah? Karena itu sama sekali tidak akan membantu mereka. Yang perlu Anda lakukan yaitu berkata, "Mengapa kau merasa begitu? Apa yang membuat kau mengatakan itu?" karena Anda perlu melihat makna di balik ucapan mereka dan menilik sampai ke pokok permasalahan yang sebenarnya.

Perasaan kita tidak bisa dinilai benar atau salah, sebab itu muncul begitu saja. Seseorang seharusnya tidak perlu berargumen memenangkan perasaannya. Seseorang hanya butuh Anda berkata padanya, "Saya mengerti." Ini berlaku untuk siapa saja, baik pria atau wanita.

Alkitab mengatakan, "Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik." (Yakobus 3:17).

Dengan hikmat Surga, Anda akan berhenti meminimalkan perasaan orang lain. Anda akan membiarkan orang lain merasa lelah saat ia lelah dan tidak mencoba membujuknya untuk melupakan kegelisahannya. Anda akan membiarkan ia merasa tertekan saat ia tertekan dan tidak mencoba meyakinkanya untuk tidak merasakannya. Orang yang berhikmat memikirkan perasaan orang lain.

Renungkan hal ini:
Akibat apa yang Anda lihat pada orang lain saat Anda menunjukkan kebaikan kepada mereka saat mereka tersakiti?
Kebiasaan apa yang perlu Anda ubah atau mulai Anda lakukan untuk menjadi lebih memperhatikan perasaan orang lain, dan bukan hanya fokus pada kata-kata mereka?


Bacaan Alkitab Setahun :
Mazmur 140-142; I Korintus 14


Milikilah kasih Tuhan dalam hati yang memampukan kita untuk memiliki kepekaan dan empati pada sesama. Paksa diri kita untuk mengerti, sama seperti kita ingin dimengerti orang lain.
(Diterjemahkan dari Daily Devotional by Rick Warren) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top